Kamis, 29 Januari 2009

Crisis Di Indonesia Dianggap SBY Bukan Single Crisis



Keterangan Foto: Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono (SBY) Saat di Unibraw (farid)

Media Center, FKUB
Ada tiga agenda besar yang mewarnai perekonomian Indonesia satu dekade terakhir serta proyeksi pembangunan perekonomian Indonesia di masa depan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengutarakan ini dalam orasi ilmiah berjudul "Pembangunan Ekonomi Indonesia dalam Era Globalisasi di Abad 21". Orasi tersebut disampaikan sekitar 40 menit di depan sivitas akademika Universitas Brawijaya pada acara peringatan Dies Natalis ke-46, di Sasana Samanta Krida, Selasa (27/01).
Agenda pertama adalah seputar kondisi negara pasca krisis tahun 1997 dan 1998. Presiden SBY menegaskan, krisis yang dialami oleh bangsa Indonesia pada masa-masa itu bukanlah krisis tunggal atau single crisis, tetapi banyak krisis yang bertali temali, yang ditandai dengan minusnya pertumbuhan ekonomi, meningkatnya pengangguran, dan tingginya utang luar negeri.
Kondisi-kondisi di atas masih diwarnai pula dengan banyaknya bencana alam yang disebut Presiden sebagai "another shock" seperti tsunami Aceh dan gempa bumi di Yogyakarta. Apalagi masih banyak turbulensi seperti konflik Aceh, Poso, Maluku Utara, dan Papua dengan skala tertentu. "Akan tetapi bangsa Indonesia secara bersama-sama, sembari membangun, kita selesaikan masalah-masalah", tuturnya.
Agenda besar berikutnya adalah dinamika lingkungan strategis yang bersifat global yakni perubahan iklim. Perubahan iklim tanpa disadari menjadi imbas dari adanya keserakahan industri meraup keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Agenda ini bukan hanya menjadi perhatian Indonesia saja, tetapi juga menjadi agenda dunia. Presiden SBY menceritakan bahwa bumi saat ini sedang menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global. Apabila masyarakat gagal untuk bersatu untuk mengatasi dan mencegah kondisi tersebut, masa depan umat manusia akan gelap.
Di Bali, Indonesia telah mengukir sejarah setelah pada akhir tahun 2007 berhasil menyelenggarakan konferensi perubahan iklim dunia. "Tahun ini dunia ditantang lagi untuk menghasilkan yang sama dengan yang di Bali, yaitu perlunya kerangka baru (new frame) untuk mengatasi perubahan iklim untuk mengganti Kyoto Protocol yang jatuh tempo pada tahun 2012", paparnya.
Bubble Economic
Beberapa fenomena perekonomian global yang turut menyebabkan adanya krisis global adalah adanya ekonomi gelembung atau lebih dikenal dengan bubble economic. Penyebab yang pertama adalah penyalahgunaan teknologi informasi. Teknologi informasi memang sangat bermanfaat bila ada digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat. Akan tetapi, bila disalahgunakan akan merugikan perekonomian secara makro.
Agenda selanjutnya, adanya spekulasi yang keterlaluan dari para pelaku bisnis. Dalam kondisi tersebut, pemilik modal dan perusahaan-perusahaan multinasional adalah yang paling diuntungkan karena mendapatkan keuntungan yang begitu besar dan tidak wajar. Penyebab yang ketiga adalah ketidakberhasilan institusi-institusi seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO di dalam mengelola keuangan global. "Tiga hal itulah yang secara fundamental membikin perekonomian global penuh dengan kerawanan", tutur Presiden.
Melihat kondisi perekonomian global seperti itu, Indonesia harus turut berperan aktif. "Kita harus jadi pemain, dan bukan hanya bisa jadi pemain, we have to be a winner", ucap presiden keenam ini. Untuk itu, negara harus mengedepankan 5 hal yang patut dikoreksi dari program pembangunan selama ini.
Koreksi Pembangunan
Pertama, pembangunan ke depan harus diarahkan menjadi pembangunan semesta, berjalan di seluruh wilayah Indonesia. "Tidak hanya di Jakarta, Surabaya, Malang atau kota-kota besar saja, pembangunan harus dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia", ucapnya. "Namun, pembangunan harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan", lanjutnya.
Poin berikut yang harus dilaksanakan, pembangunan ke depan mesti didasari dari paduan antara resource based, knowledge based, dan culture based. Pertumbuhan ekonomi, mestinya juga harus disertai dengan pemerataan. Program pembangunan tidak bisa mengedepankan pertumbuhan ekonomi kemudian baru diikuti oleh upaya pemerataan kepada masyarakat. "Apa artinya ekonomi tumbuh 7% atau 8% jika rakyat lemah tidak bisa menikmatinya", tuturnya.
Keseriusan pemerintah dalam meningkatkan ketahanan dan kemandirian bangsa juga patut untuk selalau diperhatikan. Presiden SBY mencontohkan adanya ketahanan pangan di Indonesia saat ini. "Bayangkan bila tahun ini kita tidak swasembada beras, pasti rakyat yang menderita", ucapnya.
Untuk melaksanakan pembangunan perekonomian, seluruh elemen bangsa juga harus diajak untuk berpartisipasi. Presiden SBY menegaskan, dalam proses pembangunan bukan hanya pemerintah saja yang bekerja. Namun demikian, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pembangunan, Presiden SBY telah menetapkan prioritas kerja yaitu menurunkan tingkat kemiskinan, meningkatkan lapangan kerja, meningkatkan aktivitas perekonomian, meningkatkan ketahanan pangan dan energi.
Konstruksi Ekonomi
Presiden SBY mengajak semua pihak, terutama dunia pendidikan, merumuskan bagaimana bentuk konstruksi perekonomian dengan mengedepankan beberapa hal. Pertama adalah pendekatan pengetahuan dan budaya. Pembangunan, menurut Presiden, harus bisa mengakomodasi baik aspek pengetahuan maupun segi budaya tanpa harus membedakan-bedakan keduanya.
Berikutnya, Presiden SBY menghendaki adanya upaya peningkatan ekonomi yang sustainable and green. Artinya, proses pembangunan harus berjalan sinambung tanpa mengorbankan lingkungan alam. Tidak dibenarkan melakukan eksploitasi lingkungan untunk tujuan pembangunan tanpa melindungi lingkungan itu sendiri.
Selanjutnya, upaya pembangunan tidak boleh bias dan terdisorientasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Kondisi tersebut akan menyebabkan pemerataan pembangunan tidak tercapai.
Presiden SBY juga mengingatkan agar perekonomian Indonesia tidak bergantung pada ekspor. Pola-pola pembangunan ekonomi yang mengedepankan ekspor seperti di negara-negara Taiwán, Korea Selatan, atau Singapura, menurutnya tidak cocok diterapkan di Indonesia. "Negara kita memiliki ratusan juta penduduk dan bisa menjadi pasar", ungkapnya untuk mengedepankan pasar domestik.
Himbauan untuk menghidupkan semua simpul-simpul di tiap-tiap dimensi wilayah, baik di kabupaten, kota, propinsi, dan di tiap-tiap pula juga disampaikan Presiden SBY. Upaya itu untuk memacu kerja dari seluruh lini-lini pemerintahan di Indonesia.
Presiden SBY juga mengungkapkan komitmennya untuk tidak mengandalkan anggaran yang bersumber dari luar negeri. "Kalau ada, lebih baik diupayakan saving", tuturnya. Pangan dan energi yang menjadi kebutuhan dasar rakyat juga harus bisa mandiri tanpa mengandalkan dari hasil pinjaman.
Selama ini selalu ada dikotomi antara keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Padahal pembahasan semacam itu justru menghambat upaya pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, Presiden SBY menghimbau agar wacana-wacana semacam itu bisa dikesampingkan. "Juga jangan terlalu larut dalam debat ideologis untuk melaksanakan pembangunan", ujarnya. "Mari kita anut ekonomi terbuka yang berkeadilan social yang dimungkinkan market mechanism dengan government role", tuturnya. [hms]

Tidak ada komentar: